Skip to main content

Pemburu Alkitab (Bagian III)

ANDA DIMAAFKAN jika mengajukan pertanyaan canggung: Mengapa semua ini penting? Mengapa meributkan Alkitab tua dan cabikan papirus Mesir yang lebih tua lagi? Bagi orang-orang seperti Wallace, semuanya mengerucut ke sini: Apakah iman mereka berdasarkan fakta atau fiksi?

"Waktu pengunjung museum kami melihat sebuah naskah kuno," tutur Green, "mereka melihat bukti bahwa apa yang mereka percayai bukanlah dongeng belaka."

Akan tetapi, seberapa bagus bukti itu? Untuk sementara, kita asumsikan dahulu bahwa Tuhan dalam Alkitab sungguh ada dan bahwa Dia berbicara dengan para penulis dokumen alkitabiah kuno. Apa sekarang kita punya yang mereka tulis dahulu itu? Lagi pula, tidak satu pun tulisan asli mereka, yang disebut para cendekiawan sebagai otograf, telah ditemukan.

Penulis Misquoting Jesus: The Story Behind Who Changed the Bible dan Why, Bart Ehrman, berargumen bahwa "fakta" tentang Yesus yang diketengahkan dalam Alkitab masa kini didasarkan dari ratusan tahun penyalinan sehingga kita mungkin tidak tahu apa yang sesungguhnya dikatakan dalam tulisan aslinya.

bible hunters

Ehrman mengutip sekelompok besar paragraf Kitab Suci yang dia pandang dengan curiga. Banyak pernyataan Ehrman memang dapat didebat (secara harfiah memang demikian: dia dan Wallace berhadap-hadapan dalam tiga debat publik), tetapi sejumlah cendekiawan juga setuju bahwa seiring berjalannya waktu, juru tulis kitab kristiani secara sengaja mengorupsi paragraf tertentu. Pertanyaannya: seberapa jauh?

"Secara umum, saya mendukung apa yang dikatakan Ehrman soal ini," kata Peter Head, cendekiawan Oxford yang mempelajari manuskrip Perjanjian Baru berbahasa Yunani. "Namun, manuskrip itu punya keluwesan terkendali. Memang ada varian muncul, tetapi kita bisa semacam mengetahui kapan terjadinya dan mengapa alasannya. Kini, tentang periode awallah yang kita tidak punya cukup data. Itu masalahnya."

"Periode awal" yang dimaksud Head dimulai dari kelahiran kekristenan pada abad pertama Masehi dan berakhir pada awal abad ke-4. Dan, meskipun benar bahwa lebih dari 5.500 manuskrip Perjanjian Baru berbahasa Yunani ditemukan, hampir 95 persen salinan itu berasal dari abad ke-9 sampai ke-16. Hanya sekitar 125 buah yang berasal dari abad kedua atau ketiga, dan tak satu pun dari abad pertama.

Tak satu pun dari angka ini menggoyahkan Wallace. "Bart suka menekankan bahwa kita tidak punya satu pun otograf, hanya salinan," ujar Wallace, "tetapi kalau melihat fakta, kita tidak punya otograf kesusastraan masa Yunani Romawi mana pun, kecuali mungkin satu fragmen dari satu pujangga klasik."

Wallace berargumen, karena cendekiawan mempunyai begitu banyak naskah untuk dipelajari dan dibandingkan, mereka dapat mengidentifikasi kesalahan dan kebanyakan mendapatkan kembali kata-kata aslinya.

Tetap saja, kurangnya tulisan kristiani dari abad pertama menjadi poin penting bagi argumen Ehrman -- sebuah poin yang ingin Wallace hilangkan. Terlalu ingin, barangkali.

Saat berdebat dengan Ehrman pada Februari 2012, Wallace memberi kejutan besar. Sebuah fragmen manuskrip Injil Markus baru saja ditemukan dan dipercaya berasal dari akhir abad pertama lebih dari seabad lebih awal dibandingkan dengan teks tertua dari kitab Markus yang diketahui. Naskah ini akan menjadi satu-satunya dokumen Perjanjian Baru dari abad pertama yang pernah ditemukan sekaligus naskah kristiani tertua yang dapat bertahan. Kajian manuskrip kuno itu rencananya akan dipublikasikan pada 2013.

Dunia perburuan Alkitab pun menjadi gempar karena pengungkapan Wallace. Namun, lima tahun berlalu, dokumen itu belum juga tampak. Saya mulai menelepon orang-orang pada Desember 2017. Sebulan kemudian, saya muncul di Sackler Library di kampus Oxford University, rumah bagi koleksi papirus kuno terbesar di dunia.

Wanita Italia berbalut jas lab mengantarkan saya melalui area berkeamanan ketat. Dia adalah Daniela Colomo, mitra peneliti di Oxford dan kurator koleksi papirus Oxyrhynchus. Colomo memperlihatkan sepotong papirus kecokelatan, lebih besar sedikit dari jempol saya. Sambil memicingkan mata, saya dapat melihat sejumlah goresan pada sobekan kuno itu.

"Ini Markus," kata Colomo. "Tanggalnya kemungkinan akhir abad kedua, awal abad ketiga. Kami tidak pernah bermaksud mengambil posisi resmi, tetapi ada macam-macam tulisan blog, dan berbagai desas-desus. Jadi, karena adanya semua publisitas tanpa nama itu, kami harus segera memublikasikannya."

Colomo dan koleganya, Dirk Obbink, seorang papirolog dari Amerika dan profesor Oxford, memublikasikan temuan mereka pada bulan Mei lalu. Fragmen tersebut merupakan bagian dari ribuan papirus yang digali oleh Grenfell dan Hunt dan belum dipelajari sepenuhnya. Egypt Exploration Society atau Masyarakat Eksplorasi Mesir, yang mensponsori ekskavasi Oxyrhynchus dan mempunyai hak kepemilikan atas koleksi tersebut, mengeluarkan pernyataan: "Ini adalah naskah yang sama yang diperlihatkan Profesor Obbink ke beberapa pengunjung di Oxford pada 2011/2012, yang beberapa di antaranya melaporkannya dalam pembicaraan dan di media sosial sebagai kemungkinan besar berasal dari akhir abad pertama Masehi berdasarkan penanggalan sementara yang dibuat saat naskah tersebut dikatalogkan bertahun-tahun yang lalu."

Turunnya ketertarikan terhadap potongan Injil Markus telah mengaburkan hal penting yang sesungguhnya akan penemuan itu. Diketahui hanya ada dua fragmen lain dari Injil Markus yang berasal dari masa sebelum 300 M.

"Di antara para intelektual Perjanjian Baru, terutama di Amerika, ada kecenderungan untuk mencari dokumen yang paling awal, berharap untuk menemukan sebuah otograf dari orang-orang yang bertemu Yesus," tutur Colomo. "Mereka cenderung memberi tanggal sangat tua pada sebuah papirus, memakai kemiripan yang acak. Ini tidak akademis."

Wallace meminta maaf kepada Ehrman. "Saya bertanggung jawab penuh," ujarnya. "Saya tidak menyelidikinya secara layak. Ini kenaifan saya."

Menurut Ehrman, bisa jadi naif pula jika mengharapkan sepotong kecil fragmen dapat mengakhiri debat yang telah lama bergolak tentang Alkitab. "Akankah potongan itu mengubah pemikiran seseorang tentang apa pun?" ujarnya. "Menurut pandangan saya, hampir pasti tidak. Saya berkali-kali sudah bilang bahwa jika Anda menemukan tiga atau empat manuskrip masa awal dari tempat yang berbeda-beda dan semuanya berkata sama, barulah Anda punya argumen. Akan tetapi, saya rasa tidak mungkin begitu."

Randal Price dan tim Gutfeld, yang terdiri dari mahasiswa, teman, dan anggota keluarga, tengah mengemasi barang-barang di Gua 53 pada suatu pagi pada akhir Januari ketika terdengar sebuah teriakan. Istri Price, Beverlee, muncul dari sebuah ruang gua alami, yang belum lama ditemukan oleh tim tersebut. Di tangannya, ada sebuah benda tanah liat sepanjang sekitar lima sentimeter.

Price pun mempelajarinya. "Ini tepian." Artinya: tepi mulut sebuah benda yang bisa jadi sebuah tempayan gulungan. Kemungkinannya, apa pun bagian lain pecahan ini telah lama dibawa pergi dengan gerobak orang Badawi. Akan tetapi, Alkitab yang Price baca dan imani mengajarkan, lebih dari apa pun, untuk percaya. Dan, di mana ada tempayan gulungan ....

"Hei, ayo keluar!" Serunya ke dalam Gua 53, "Kita punya galian lagi!"

Nama Majalah : National Geographic Indonesia
Edisi : Desember 2018
Penulis artikel : Robert Draper
Halaman : Halaman 82 -- 83