Skip to main content

Pemburu Alkitab (Bagian II)

Pada tahun 1896, Bernard Grenfell dan Arthur Hunt, arkeolog muda berbakat dari Oxford University, sedang mencari artefak yang lama terkubur di kota Oxyrhynchus, Mesir, ketika mereka membuat tumpukan yang luar biasa: sampah kuno yang dipenuhi dengan berlapis-lapis kertas papirus. Lebih dari satu dekade kemudian, Grenfell dan Hunt menggali lubang penuh papirus sedalam 30 kaki dan mengirim dengan kapal setengah juta dokumen kembali ke Oxford. Sejak saat itu, para peneliti telah dengan seksama mengumpulkan potongan-potongannya.

Sebagian besar papirus itu adalah kertas-kertas yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari: tagihan, surat-surat, penilaian pajak, akte penjualan keledai. Tetapi, sekitar 10 persen dari timbunan itu adalah karya sastra, termasuk sedikit karya dari para penulis klasik seperti Homer, Sophocles, dan Euripides. Beberapa penemuan paling dramatis seperti kitab-kitab Injil yang hilang dan tidak lengkap sampai Perjanjian Baru – telah menerangi tahun-tahun yang membentuk iman Kristen. Lebih dari satu abad setelah penemuan mereka, ribuan fragmen dipelajari dengan seksama. Berapa banyak lagi penyingkapan yang masih menunggu dalam kotak-kotak sampah kuno itu menjadi pertanyaan setiap orang.

Gambar: Eksplorasi gulungan Kitab Suci

UNTUK ZAMAN "CLOAK-AND-DAGGER", Gulungan Laut Mati membukakan penemuan-penemuan alkitabiah lainnya. Menurut salah satu versi kisahnya, para penggembala kambing Bedouin menjual tujuh perkamen yang mereka temukan kepada para penjual barang antik di Betlehem. Seorang ilmuwan dari Yerusalem memdapatkan tiga dari gulungan-gulungan tersebut dengan mengikuti pertemuan rahasia melewati pagar berkawat. Seorang penjual bernama Khalil Iskander Shahin, yang juga dikenal sebagai Kando, menjual empat gulungan lainnya kepada seorang uskup besar Suriah di Yerusalem, yang tercatat membayar senilai $250. Pada tahun 1949, karena takut dengan Perang Arab-Israel, uskup itu menyelundupkan gulungan-gulungan itu ke Amerika Serikat berharap dapat menjual mereka ke sebuah museum atau universitas. Setelah tidak memperoleh pembeli (Lanjut ke halaman 69) (Lanjutan dari halaman 53), dia membuat iklan rahasia di "Wall Street Journal" pada 1 Juni tahun 1954. Seorang arkeolog Israel, melalui seorang perantara dari Amerika, mengatur pembelian gulungan-gulungan untuk pemerintah Israel senilai $250.000. Ketujuh gulungan kitab yang asli sekarang terletak di museum nasional Israel mereka sendiri di Yerusalem.

Ketika kabar mengenai penemuan gulungan-gulungan itu menyebar, sebuah tim yang dipimpin oleh arkeolog serta imam Dominika, Roland de Vaux, turun ke Qumran pada tahun 1949. Pada tahun 1956, de Vaux dan orang lokal Bedouin menemukan 10 lagi “gua-gua berisi gulungan” yang berisikan sejumlah naskah, banyak dari mereka yang terbagi-bagi menjadi ribuan potongan. Dibutuhkan waktu puluhan tahun bagi para ilmuwan, bekerja dalam pengasingan dan dalam kerahasiaan, untuk menyatukan dan menerjemahkan perkamen-perkamen yang sobek-sobek itu. Penundaan yang lama untuk mempublikasikannya menelurkan teori-teori konspirasi bahwa para penguasa - yaitu paus? Kaum Zionis? - dengan sengaja menyembunyikan isi gulungan-gulungan itu.

Akhirnya, pada pertegahan tahun 2000-an, para penerjemah selesai menerbitkan tumpukan penemuan-penemuan mereka. Gulungan-gulungan itu meliputi teks hukum, perjanjian-perjanjian apokaliptik serta ritual, catatan tentang kehidupan sekte Qumran, dan selebihnya adalah 230 naskah alkitabiah. Para ilmuwan menjadi bergairah mengetahui bahwa di antara gulungan itu ada Salinan Kitab Yesaya yang nyaris lengkap dari Alkitab Bahasa Yunani. Isinya benar-benar sama dengan salinan lain tentang Yesaya dengan penanggalan hampir seribu tahun kemudian. Gulungan Yesaya yang Agung ini akan menjadi "Exhibit A (Pameran Utama - Red)" bagi para ilmuwan yang membela Alkitab terhadap pernyataan bahwa teksnya telah diubah oleh juru tulis yang, selama berabad-abad menyalinnya dengan tulisan tangan, membuat banyak sekali kesalahan dan perubahan yang disengaja. (Lebih banyak debat tentang hal ini nanti.)

SEJARAH PERBURUAN ALKITAB bukan hanya perburuan harta karun yang terkubur tetapi juga tentang pencarian emas. Saat para ahli arkeologi memulai penggalian di gua-gua Qumran, orang-orang Bedouin lain melakukan penggalian mereka sendiri dan menjual apa yang mereka temukan kepada Kando. Pembelian terbesarnya adalah Gulungan Bait Suci sepanjang hampir 30 kaki, Gulungan Laut Mati yang paling panjang. Pada tahun 1967, saat Perang Enam Hari Arab-Israel, para inteligen Israel menyita Gulungan Bait Suci dari rumah Kando, menyatakannya sebagai milik pemerintah. Setelah insiden tersebut, Kando tercatat mulai memindahkan potongan-potongan gulungan yang masih tersisa secara sembunyi-sembunyi kepada sanak keluarga di Lebanon dan kemudian ke ruangan besi di dalam bank di Swiss.

Pada tahun 2009, Steve Green mulai membeli Alkitab-alkitab langka dan artefak-artefak yang belum pernah ada sebelumnya, yang akhirnya mendapatkan sekitar 40.000 benda – salah satu koleksi pribadi terbanyak untuk materi-materi Alkitab di dunia. Kegiatan belanja yang menghabiskan jutaan-dollar itu tak dapat dipungkiri mengantarnya ke pintu rumah Kando. (Putra Kando, William, mengambil alih bisnis keluarga setelah ayahnya meninggal tahun 1993).

“Steve Green berkali-kali menemui saya,” William Kando memberitahu saya dengan asap rokok mengepul pada pagi hari saat kami bertemu di tokonya di Yerusalem. “Dia orang jujur, seorang Kristen yang baik. Dia menawar $40 juta untuk fragmen Kitab Kejadian saya. Saya menolak. Orang-orang bilang itu tidak ternilai.” Green, melalui juru bicaranya, mengatakan Kando menetapkan harga $40 juta , dan dia memutuskan untuk tidak membelinya. Melainkan, dia membeli beberapa fragmen gulungan lain yang masih terjangkau.

Pedagang itu menawari saya kopi lagi, lalu meraba-raba buku kas besar. “Di sini Anda bisa lihat,” katanya, menunjuk ke satu nota yang menuliskan dia telah menjual potongan tujuh Gulungan Laut Mati kepada Green pada Mei 2010. Hari ini, Museum of the Bible memiliki potongan lima gulungan yang dipamerkan. Ketika saya mengunjungi museum tersebut sehari sebelum pembukaan resminya, saya memerhatikan semacam penyangkalan yang disertakan di pameran mengatakan bahwa potongan-potongan itu mungkin saja palsu. Kando dengan marah menyangkal bahwa keluarganya menjual potongan-potongan yang tidak asli, meyakinkan bahwa pemalsuan apa pun pastilah berasal dari penjual yang kurang punya reputasi.

Green, dari pihaknya, tampak sedikit membela diri ketika saya bertanya tentang harga akuisisinya. “Ada beberapa orang yang pernah mempertanyakan benda-benda kami, tetapi itu bukanlah akhir,” katanya. “Apa bukti mereka bahwa itu palsu?” Tetap, Green mengakuinya, “Anda berharap itu akan berbeda dalam dunia Alkitab. Tetapi ternyata, sama seperti bisnis lainnya, ada beberapa orang curang yang berusaha untuk medapatkan uang yang banyak. Yang bisa Anda lakukan adalah belajar dari kesalahan Anda dan tidak lagi berbisnis dengan mereka.”

Salah satu kesalahan Green – mengimpor ribuan lembar yang terbuat dari tanah liat beserta artefak-artefak lainnya, yang menurut para ahli, sepertinya dirampas di Irak – yang berakibat denda dari Amerika Serikat. Departemen Keadilan menetapkan tiga juta dollar dan denda untuk benda-benda itu. “Faktanya, sebagian besar barang antik dirampas, dan sebagian besar pembeli tidak bertanya dari mana mereka mendapatkannya,” kata Eitan Klein, wakil direktur Antiquities Authority Israel divisi anti-perampasan, ketika kami bertemu di kantornya yang tidak terlalu nyaman di Yerusalem. “Karena menurut saya, jika Anda berurusan dengan benda antik, Anda tetap harus mengotori tangan Anda sendiri.”

Telepon Klein berbunyi. Dia mendengarkan, mengangkatnya, dan meminta maaf, berkata dengan tersenyum, “Unit kami menangkap beberapa perampok, jadi saya harus pergi.”

KARENA KEASLIAN Gulungan Laut Mati adalah “harta karun budaya yang paling signifikan dari natur Orang Yahudi di Bumi,” seperti yang dikatakan oleh kepala museum, Adolfo Roitman, dokumen-dokumen suci dipelihara dengan perawatan yang halus sekali. Sementara itu, banyak naskah alkitabiah lain dibiarkan berjamur di dalam ruangan penyimpanan akademis atau terbakar, terseret banjir, serangga, perampok, atau peperangan dalam negara-negara yang bobrok oleh pergolakan politik. Pengawetan dan pendokumentasian sebelum rahasia mereka hilang selamanya adalah “secara harfiah merupakan perlombaan melawan waktu,” kata Daniel B. Wallace, ketua Center for the Study of New Testament Manuscripts di Plano, Texas.

Wallace beserta para ilmuwan penerjemah teks dunia - yang paling terkenal adalah biarawan Ordo Benediktus, Bapa Columba Stewart, dari Hill Museum and Manuscript Library di Saint John's University di Minnesota - telah menempuh puluhan ribu mil berkeliling dunia untuk sebuah misi yang mendesak: untuk mendokumentasikan naskah-naskah Alkitab kuno secara digital dalam arsip-arsip, perpustakaan-perpustakaan biara, dan tempat-tempat penyimpanan lainnya serta membuat semua itu tersedia bagi para ilmuwan dimana pun lewat internet. Ini adalah tugas yang sulit. Dalam kasus Perjanjian Baru, yang penulisnya menulis dalam Bahasa Yunani, lebih dari 5.500 naskah dan fragmen Bahasa Yuhani telah ditemukan – lebih banyak daripada teks kuno lainnya. Jumlah seluruhnya sebanyak 2,6 juta halaman, Wallace menghitung, dan seperti papirus Oxyrhynchus, sebagian besar mereka belum mendapat perhatian dari para ilmuwan.

“Sekitar 80 persen dari naskah yang telah diketahui yang akan berguna bagi para ilmuwan Perjanjian Baru belum diterbitkan,” kata Bapa Olivier-Thomas Venard dari Ecole Biblique et Archéologique Frangaise, sebuah pusat penelitian Dominika di Yerusalem. “Ini merupakan aib orang-orang yang kaya,” tambah rekan Venard, Bapa Anthony Giambrone, “yang dengan terang-terangan mengajukan tantangan kritik tekstual yang tidak dapat diatasi. Hanya saja, tidak ada spesialis yang cukup untuk mengerjakannya.”

Institute for New Testament Textual Research di Mi'mster, Jerman, telah berupaya untuk mengurangi kesulitan pekerja dengan mengelompokkan dokumen alkitabiah menurut bagian-bagian utamanya, tetapi sistem seperti itu memperhitungkan tingkat urgensi yang secara keseluruhan mengabaikan teks yang banyak. Solusi yang jauh lebih komprehensif mungkin segera bisa terwujud dengan teknologi, prediksi Wallace, yang berharap untuk menggunakan perangkat lunak "optical character recognition (OCR) (pengenalan karakter optis - Red)

https://searchcontentmanagement.techtarget.com/definition/OCR-optical-character-recognition

" untuk membuat semua jilid Perjanjian Baru Bahasa Yunani ke dalam bentuk digital. “Saat ini, seorang ilmuwan akan membutuhkan waktu 400 tahun untuk membaca dan menyusun semua dokumen yang diketahui,” katanya. “Dengan OCR, kami memperkirakan bisa melakukan pekerjaan itu dalam waktu 10 tahun.”

ANDA AKAN DIMAAFKAN karena mengajukan pertanyaan aneh saat ini: Mengapa hal ini penting? Mengapa semua percekcokkan tentang Alkitab-alkitab kuno dan potongan-potongan yang lebih tua dari papirus Mesir terjadi? Bagi orang-orang seperti Wallace, yang mengajar di seminari injili, dan Green, yang menginvestasikan sebagian besar dari keuntungan keluarganya dalam museum kelas dunia yang didedikasikan untuk Alkitab, maka alasan utamanya adalah ini: apakah iman mereka berdasarkan fakta atau fiksi?