Skip to main content

Pemburu Alkitab (Bagian I)

Panasnya tak tertahankan di tengah-tengah perbukitan tandus padang gurun Yudea dekat pesisir Laut Mati.

Namun, hawanya lebih sejuk di dalam gua tempat Randall Price berbaring memandangi celah gua tempat dia baru saja menemukan sebuah panci tembaga berusia 2.000 tahun kemarin.

Gambar: Membaca Alkitab

"Gua ini dijarah oleh orang-orang Bedouin sekitar 40 tahun yang lalu," jelas Price, seorang arkeolog Amerika sekaligus profesor bidang penelitian di Liberty University, Virginia. "Kita beruntung, mereka tidak menggali terlalu dalam. Harapan kami, jika kami terus menggali, kami akan menemukan urat emasnya."

Siapa pun yang pernah mendengar tentang gua-gua terkenal di dekat perkampungan Yahudi kuno di Qumran ini tahu "urat emas" apa yang dimaksudkan oleh Price. Pada 1974, para gembala muda Bedouin melihat-lihat ke dalam gua besar di dekat situ dan menemukan salah satu penemuan arkeologis terbesar pada abad ke-20: tujuh gulungan perkamen yang dibalut dalam naskah bahasa Ibrani kuno, naskah-naskah pertama dari Gulungan Laut Mati yang terkenal. Para anggota sekte separatis Qumran sepertinya menyembunyikan gulungan-gulungan itu di dalam gua sekitar tahun 70 M saat pasukan Romawi mengepung untuk menghancurkan Pemberontakan Yahudi Pertama. Ratusan gulungan lebih akhirnya ditemukan. Dengan penanggalan sedini abad ke-3 SM, gulungan-gulungan itu merupakan teks alkitabiah tertua yang pernah ditemukan.

Gua-gua Qumran terletak di daerah Tepi Barat (sekarang termasuk wilayah Palestina - Red.) yang didiami orang Israel, dan banyak orang menganggap pekerjaan Price adalah ilegal menurut hukum internasional. Namun, itu tidak menghentikan dia atau direktur penggalian asal Israel itu, Oren Gutfeld dari Hebrew University of Jerusalem, untuk mengerjakan agenda penelitian yang berasal dari pelaksanaan agenda yang lebih awal yang sama kontroversialnya itu.

Pada 1993, setelah menandatangani Kesepakatan Oslo yang menyediakan sebuah kerangka untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang disengketakan kepada kendali Palestina, pemerintah Israel melancarkan Operation Scroll, sebuah survei mendesak atas semua situs arkeologis negeri yang berpotensi untuk hilang. Inventarisasinya dilakukan tergesa-gesa dan ala kadarnya sehingga para peneliti tidak dapat menemukan gulungan-gulungan baru. Namun, mereka memetakan puluhan gua yang telah rusak akibat gempa bumi dan mungkin terlewatkan oleh para pemburu harta karun Bedouin. Salah satu yang disebutkan di katalog sebagai "Gua 53" menarik perhatian Price pada 2010 dan kemudian Gutfeld, yang menggambarkan gua itu "banyak airnya". "Mereka menemukan banyak tembikar dari berbagai periode waktu -- mulai dari Islam mula-mula sampai Bait Suci Kedua sampai Helenistik," katanya. "Ada alasan untuk berharap bahwa ada sesuatu yang lain lagi di sana."

Dua tahun yang lalu, selama penyelidikan pertama mereka di Gua 53, para arkeolog menemukan sebuah gulungan kecil perkamen kosong dan tempat kendi-kendi penyimpanan yang rusak -- bukti menggiurkan bahwa gua besar itu mungkin saja menyimpan gulungan-gulungan lain. Hari ini, setelah hampir tiga minggu menggali, penemuan mereka ditata di sepanjang meja lipat di luar gua. Benda-benda itu mencakup mata panah Neolitik, pisau obsidian dari Anatolia, dan panci tembaga. Namun, tidak ada gulungan. Demikianlah penggalian terus berlanjut.

ORANG-ORANG DARI BERBAGAI AGAMA menghormati peninggalan-peninggalan religius. Namun, bagi mereka yang percaya bahwa Allah berbicara melalui kata-kata yang dituliskan oleh nabi-nabi dan rasul-rasul pada zaman dahulu, naskah-naskah kuno adalah dasar bagi iman mereka. Mulai dari naskah-naskah abad pertengahan yang dihias apik sampai ke perkamen papirus sederhana, naskah-naskah berharga tersebut menunjukkan kaitan yang nyata kepada para pembawa pesan yang ditunjuk oleh Allah, entah itu Muhammad, Musa, ataupun Yesus Kristus.

Rasa hormat kepada tulisan suci menyatu dengan iman orang-orang Kristen injili, yang telah menjadi daya penggerak di balik pencarian teks Alkitab yang lama hilang di gua-gua padang gurun, biara-biara terpencil, dan pasar-pasar barang antik di Timur Tengah. Para kritikus mengatakan bahwa hasrat kaum injili terhadap artefak memompa keinginan untuk mendapatkan benda-benda jarahan -- tuduhan yang dibuktikan dalam beberapa hal melalui penyelidikan-penyelidikan terkini serta laporan dari para pedagang resmi.

"Orang-orang injili telah memberi pengaruh yang luar biasa pada pasar," kata penjual barang antik Yerusalem, Lenny Wolfe. "Harga dari benda apa pun yang berhubungan dengan masa hidup Kristus mengalami kenaikan."

Apa pun komitmen agama mereka, para kolektor kaya dan para dermawan yang berkantong tebal telah lama memainkan peran pendukung dalam pencarian benda-benda kuno. Di antara mereka yang membantu menanggung ekspedisi Qumran oleh Price dan Gutfeld, ada sebuah yayasan yang didirikan oleh Mark Lanier, pengacara kaya raya dari Houston serta kolektor yang gemar sekali dengan teks-teks teologis. Penggalian arkeologis lainnya, kali ini di Tel Shimron di Israel, didukung oleh Museum of the Bible yang baru di Washington, DC. Kepala museumnya, Steve Green, adalah presiden dari toko kerajinan raksasa Hobby Lobby dan salah satu pendukung terbesar perkara kekristenan di Amerika Serikat. Antusiasmenya untuk perburuan Alkitab terlihat jelas.

"Ada banyak yang bisa ditemukan di luar sana -- bayangkan berapa banyak lagi yang masih ada di sana," kata Green kepada saya ketika saya bertemu dengannya di dalam museum gemerlap seharga 500 juta dolar dan berukuran 430.000 kaki persegi itu. "Kami bersemangat sekali untuk membalik setiap batu." Namun, tidak seperti Green, seorang Southern Baptist yang taat telah mengetahui secara langsung bahwa tidak semua orang dalam bisnis perburuan Alkitab adalah orang suci. Membalikkan bebatuan mungkin bukan hanya menemukan gulungan kitab, tetapi juga ular.

BERTEMU DENGAN ULAR dan hal berbahaya lainnya -- padang gurun yang panas membakar, badai pasir yang membutakan, ancaman dari para bandit bersenjata -- dialami oleh para perintis pemburu Alkitab pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Mesir adalah salah satu tujuan favorit mereka; iklimnya yang kering ideal untuk menyimpan naskah-naskah yang rapuh. Banyak dari para perintis merupakan para ilmuwan-petualang yang kuat, dan catatan perjalanan dan penemuan-penemuan mereka mengangankan gambar-gambar dari film Raiders of the Lost Ark.

Sebut saja, misalnya, Konstantin von Tischendorf, seorang ilmuwan Jerman yang pada 1844 melakukan perjalanan panjang dan berbahaya melalui padang gurun Sinai di Mesir menuju ke biara Kristen tidak berpenghuni yang paling kuno di dunia, St. Catherine. Di sana, dia mendapati "harta karun alkitabiah paling berharga yang pernah ada". Benda itu adalah sebuah codex -- naskah kuno dalam bentuk kitab, bukan gulungan, yang bertanggal pertengahan abad ke-4. Dikenal pada masa kini sebagai Codex Sinaiticus, benda itu merupakan salah satu dari dua Alkitab Kristen paling kuno yang selamat dari zaman purbakala, serta salinan lengkap Perjanjian Baru yang tertua.

Penemuan tersebut menjadikan Tischendorf sebagai "ilmuwan tekstual yang paling ternama dan paling terkenal dalam sejarah," kata penulis biografi Stanley Porter. Menurut catatannya sendiri, Tischendorf pertama-tama menemukan beberapa halaman codex di dalam sebuah keranjang perkamen kuno yang tadinya akan dibakar oleh para biarawan. Dia menyelamatkan halaman-halaman itu dan memohon izin agar kuasa kaum imperialis berperan di situ. Setelah menyadari nilai halaman-halaman itu dari melihat kegirangan ilmuwan asing itu, para biarawan hanya rela membagi beberapa lusin halaman.

Tischendorf melakukan perjalanan yang sulit untuk kembali ke St. Catherine pada 1853, tetapi pulang dengan hanya sedikit hal yang bisa dia tunjukkan. Dia kembali untuk kali ketiga sekaligus terakhir kalinya pada 1859 setelah mendapatkan sponsor dari kaisar Rusia, yang dianggap sebagai "pembela dan pelindung" Eastern Orthodox Church, yang di bawah naungannyalah biara Sinai itu ada. Kali ini, kegigihan Tischendorf terbayar. Setelah menandatangani perjanjian untuk mengembalikan codex itu setelah dia membuat salinannya, dia mengirimkannya ke pelindung kerajaan di St. Petersburg.

Gambar: Beranda situs mysabda.org

Dari sana, rangkaian peristiwa menjadi kusut dengan kontroversi dan tuduhan atas permainan kuasa kaum imperialis. Para biarawan akhirnya "menyumbangkan" codex tersebut kepada kaisar, tetapi apakah mereka melakukannya dengan sukarela atau di bawah tekanan masih diperdebatkan. Apa pun yang terjadi, Alkitab yang tidak ternilai itu masih ada di St. Petersburg sampai tahun 1933. Ketika pemerintahan Joseph Stalin mengalami krisis keuangan dan bencana kelaparan, mereka menjualnya ke British Museum seharga hampir setengah juta dolar Amerika.

Tischendorf bukanlah pemburu naskah pertama yang mengunjungi biara terpencil di kaki Gunung Sinai, dan bukan juga yang terakhir. Salah satu dari orang-orang yang mengikuti langkahnya adalah Agnes Smith Lewis dan Margaret Dunlop Gibson, si kembar dari Skotlandia, serta ilmuwan autodidak yang salah satunya menguasai beberapa bahasa. Pada 1892, kakak-beradik Presbiterian yang berani, keduanya merupakan janda paruh baya pada waktu itu, menyeberangi padang gurun Mesir dengan naik unta sampai ke St. Catherine. Mereka diberi bocoran rahasia bahwa tulisan-tulisan kuno berbahasa Syria kuno -- salah satu dialek Aramik, bahasa yang dituturkan oleh Yesus -- disembunyikan di sebuah lemari yang gelap. Kakak-beradik itu sangat ingin menyelidikinya.

Dengan seizin para biarawan, mereka meneliti beberapa jilid, termasuk codex yang permukaannya berlapiskan debu tebal yang tidak pernah dibuka selama puluhan tahun, atau mungkin malah berabad-abad. Dengan menggunakan cerek kemah mereka untuk menguapi untuk memisahkan halaman-halaman yang sangat kotor, mereka mendapati bahwa itu adalah sebuah biografi wanita suci dengan penanggalan tahun 778 M. Kemudian, Lewis yang bermata tajam memperhatikan tulisan yang samar di bawah lapisan atas teks dan mengetahui bahwa itu adalah sebuah palimpsest -- sebuah naskah yang sebagian telah dihapus dan dipakai ulang. Dengan mempelajari teks di bawah teks, dia terkejut melihat bahwa itu adalah sebuah terjemahan dari keempat Injil. Dengan penanggalan kira-kira awal 400-an, Codex Sinaiticus Syriacus, sebagaimana benda itu dikenal saat ini, adalah salah satu Syriacus tertua, yang diketahui saat ini, dan merupakan salah satu salinan tertua dari kitab-kitab Injil yang pernah ditemukan.

Alih-alih berusaha untuk "meminjam" codex Syria yang masih ada di St. Catherine sampai hari ini -- kakak-beradik itu mengambil foto untuk setiap halamannya dengan sebuah kamera yang mereka bawa untuk mendokumentasikan penemuan-penemuan mereka. Mereka juga memakai bahan kimia dalam usaha yang berhasil untuk memperjelas teks di bawah palimpsest yang telah pudar. Pekerjaan mereka mendahului lebih dari satu abad penggunaan gambaran multispektral dan teknologi lainnya untuk menyingkapkan teks-teks Alkitab kuno yang tersembunyi di bawah tulisan yang lebih baru. (Lihat "Digital Revelations," halaman 61.)

Naskah-naskah luar biasa yang dibawa ke perhatian dunia oleh Tischendorf dan kakak-beradik Skotlandia ini terbuat dari perkamen atau vellum yang mahal. Akan tetapi, sebagian besar teks dari abad-abad pertama kekristenan ditulis pada lembar-lembar papyrus, kertas dari zaman kuno. (t/Jing-Jing)

Diambil dari:
Nama buku : National Geographic
Judul asli artikel : Bible Hunter
Penulis artikel : Robert Draper
Tanggal akses : 2 Desember 2018