Skip to main content

Menemukan Kembali Teks yang Tersembunyi

Di biara tertua di dunia, teknologi baru memungkinkan naskah-naskah yang telah lama hilang tersedia bagi siapa pun yang memiliki koneksi Internet.

Pada suatu waktu pada abad ke-8, seorang biarawan di St. Catherine’s Monastery di Semenanjung Sinai di Mesir sedang bersiap-siap untuk menyalin sebuah kitab dari Alkitab dalam bahasa Arab, dan membutuhkan perkamen yang baru. Perkamen baru merupakan barang yang mahal pada waktu itu dan sulit didapatkan, apalagi bagi seorang biarawan tukang salin rendahan yang tinggal di biara yang terpencil. Untungnya, komunitas religius yang terhormat itu memiliki perpustakaan yang sangat besar, yang di dalamnya terdapat buku-buku yang tidak lagi terpakai. Naskah-naskah ini, beberapa di antaranya ditulis dalam bahasa yang sudah punah, atau yang dianggap tidak penting, masih bisa digunakan sebagai bahan daur ulang perkamen. Tidak ada seorang pun di biara yang akan berpikir dua kali, misalnya, ketika sedang mencari-cari bahan tulisan, biarawan mencabut koleksi sebuah teks Yunani kuno yang sudah tidak pernah dibaca selama satu generasi atau lebih. Tidak ada di antara saudara-saudaranya yang akan bereaksi saat dia memakai pisau untuk mengeruk/mengikis tinta yang usianya sudah berabad-abad. Dengan segera, tulisan yang ada padanya terhapus, dan perkamen itu siap untuk digunakan sang biarawan dalam menuliskan ayat-ayat Alkitab yang baru. Pada masa kini, menghapus teks kuno dianggap sebagai sebuah kerugian yang tak ternilai, tetapi bagi seorang penulis dari abad ke-8, itu merupakan tindakan pengabdian dan bahkan sebuah ukuran kemajuan -- teks yang usang disingkirkan, dan sebuah naskah suci yang akan memperkaya kehidupan rohani yang tak terhitung diletakkan pada tempatnya.

Gambar: Salinan Teks Kuno

Kata-kata asli pada teks yang dipakai ulang ini, atau disebut juga palimpsest (naskah perkamen yang dituliskan di atas bahan yang pernah ditulisi tulisan lain - Red.) telah hilang lebih dari ribuan tahun. Akan tetapi, sekarang, dengan bantuan teknologi modern pembuatan gambar multispektral, sebuah tim ilmuwan dan para ahli bisa melihat menembus tinta naskah dan membaca teks di bawahnya yang sudah lama lenyap. Perpustakaan di St. Catherine memiliki lebih dari seribu palimpsest, masing-masing memberikan sekilas pandangan baru yang jelas tentang era jemaat mula-mula. Pada akhir tahun ini, setelah sejumlah besar palimpsest dipelajari dan diterjemahkan oleh para spesialis, biara akan membuatnya tersedia secara daring, yang berarti bahwa teks-teks yang sudah tidak dibaca selama satu milenium bisa dipelajari oleh para sarjana dan orang awam yang tertarik dari seluruh penjuru dunia. "Ini merupakan harta karun budaya yang penting bagi sejarah kita bersama,” kata Michael Phelps, pejabat eksekutif Early Manuscripts Electronic Library, yang bekerja sama dengan UCLA Library dalam mengoordinasikan proyek itu. “Kami membantu menemukan kembali komunitas yang terhilang yang telah memberikan kontribusi rohani dan literatur yang penting, dan membuat suara mereka berbicara lagi.”

Terselip di antara lembah di kaki Gunung Sinai, Biara St. Catherine yang dikelilingi benteng dibangun pada abad ke-6 atas perintah kaisar Byzantine Justinian. Dikenal pada umumnya sebagai Imperial Monastery of the God-Trodden Mount Sinai (Biara Kerajaan di Tapak Allah Gunung Sinai - Red.), St. Catherine terletak di sebuah daerah suci yang khusus, tempat yang diperkirakan bahwa di situlah Allah pernah berbicara kepada Musa melalui semak yang terbakar. Ahli arkeologi Peter Grossman dari German Archaeological Institute Cairo pernah mengadakan penelitian di daerah itu, dan menulis bahwa berkat tembok granitnya yang memiliki ketebalan 6 kaki dan tinggi sekitar 30 kaki, biara itu tidak pernah hancur sehingga arsitektur dari semua fase pengembangannya (termasuk sebuah kapel kecil yang diubah menjadi Masjid pada abad ke-10 dan masih tetap digunakan pada kesempatan yang khusus) masih terpelihara. “St. Catherine lebih terpelihara dibandingkan biara-biara yang lain,” kata Grossman. “Bahkan, besi-besi di pintu dan temboknya dan pintu gerbang kayu asli di pintu masuk utama masih dalam keadaan yang bagus.” Selama berabad-abad, biara menarik perhatian kumpulan peziarah yang terus datang mengunjungi tempat suci di sekitar Gunung Sinai. Mereka diterima dan dilindungi oleh sebuah komunitas biarawan kecil yang memimpin kontemplasi dan doa di tengah bentang alkitabiah dari belantara Gunung Sinai. Saat ini, St. Catherine adalah biara tertua yang masih dihuni di dunia, dan didiami oleh sekitar 25 biarawan Yunani Ortodoks, yang menjalankan ritual yang terus berlangsung tanpa interupsi di dalam temboknya selama 15 abad.

Biara ini memiliki koleksi ikon dan proyek religius lainnya yang sangat banyak, tetapi perpustakaannyalah yang paling terkenal, memiliki lebih dari 3.300 naskah, hanya berada pada urutan kedua dari perpustakaan Vatikan dalam hal jumlah teks kuno yang dimiliki. Sementara perpustakaan Vatikan mengumpulkan teks-teks dengan hati-hati selama berabad-abad, koleksi St. Catherina berbeda, lebih bersifat memilih-milih dari berbagai sumber. “Perpustakaan Sinai berbeda dari sebagian besar perpustakaan dalam hal berkembang secara organik yang menyediakan bagi para biarawan dengan salinan-salinan Kitab suci dan buku-buku yang menginspirasi dan menuntun mereka dalam dedikasi mereka,” kata Bapa Justin, yang menjabat sebagai pustakawan biara. Banyak biarawan dan peziarah yang datang ke biara selama berabad-abad memberikan naskah-naskah sebagai hadiah sehingga menghasilkan koleksi istimewa yang khusus. Selain teks-teks kristiani yang penting, perpustakaan juga memiliki, misalnya, salah satu Salinan Iliad paling kuno di dunia yang pernah diketahui.

Bapa Justin memulai sebuah program membuat koleksi biara dalam bentuk digital pada akhir tahun 1990-an. Bagaimanapun, dia tahu bahwa dia tidak akan mampu membuat rekaman dari beberapa teks dari koleksi yang paling menggugah rasa ingin tahu. Sejak akhir abad ke-19, para sarjana sadar bahwa banyak karya di koleksi tersebut yang merupakan palimpsest yang menyembunyikan teks yang lebih tua (lihat “The Bible Hunters”). Selama bertahun-tahun, para sarjana bisa membaca tiga dari palimpsest yang bisa terbaca jelas, tetapi sebagian besar masih tidak terbaca dengan mata telanjang sehingga tidak dipelajari. Pada 1996, seorang sarjana dari Georgia menggunakan sinar ultraviolet untuk membaca sebuah palimpsest Sinai dengan teks abad pertengahan Georgia yang menumpuknya. Dia menemukan bahwa teks di bawahnya tertulis dalam bahasa Albania Kaukasia, dan merupakan contoh pertama dari teks yang ditulis dalam bahasa yang sekarang sudah punah ini. Itu merupakan sebuah penemuan yang menarik, tetapi prosesnya kurang. “Penggunaan ultraviolet dalam waktu yang lama berisiko bagi mata dan juga naskah itu sendiri,” kata Bapa Justin. Tekniknya bukanlah cara yang praktis untuk membaca palimpsest perpustakaan.

Bapa Justin mengetahui usaha ambisius ilmiah dan kesarjanaan yang berlangsung dari tahun 1998 -- 2008 untuk menggunakan teknologi pembuatan gambar multispektral untuk membaca Palimpsest Archimedes, sebuah salinan abad ke-10 dari tulisan-tulisan filsuf Yunani yang telah ditulis ulang oleh biarawan-biarawan Kristen pada abad ke-13. Dia menghubungi tim yang menganalisis Palimpsest Archimedes, dan tidak lama kemudian, banyak ilmuwan yang ikut terlibat dalam proyek itu sepakat untuk sekali lagi menyatukan sumber-sumber guna membaca palimpsest Sinai. Penyusunan proyek dipegang oleh Phelps dan Early Manuscripts Electronic Library, yang menggunakan teknologi digital untuk membuat naskah-naskah kuno tersedia secara daring, baik bagi para sarjana maupun masyarakat umum.

Pada 2011, Sinai Palimpsest Project mulai membuat gambar sekitar 130 naskah di perpustakaan St. Catherine yang diidentifikasi sebagai palimpsest. Selama pekerjaan 5 tahun, tim mengunjungi biara sebanyak 17 kali. Sebelum masing-masing sesi, seorang medievalis dari University of Vienna, Claudia Rapp, pemimpin proyek keilmuan, akan berkonsultasi dengan Bapa Justin, dan bersama-sama akan memilih palimpsest penting yang cocok untuk pembuatan gambar multispektral. Tim kemudian akan mengarahkan masing-masing halaman ke 4 teknologi termutakhir. Sebuah metode yang dikembangkan secara khusus untuk proyek tersebut melibatkan proses memberi latar pencahayaan masing-masing halaman dengan panjang gelombang berganda yang menunjukkan di mana tinta teks di bawahnya mengikis perkamennya.

Gambar-gambar ini, setelah diproses dan dilihat dalam kombinasi, menjadikan kata-kata yang sudah lama hilang dapat dibaca dengan jelas. Sinai Palimpsest Project saat ini telah mengambil gambar dari 6.900 halaman, yang mengumpulkan jumlah data begitu banyak tentang naskah-naskah yang sebelumnya tidak bisa dibaca dengan jelas atau tidak terlihat. “Saya menyebut proses ini arkeologi halaman,” kata Rapp. “Hanya, saat menggali, kami tidak menghancurkan lapisan yang ada di atasnya, dan kami masih bisa membuat apa yang telah tersembunyi selama berabad-abad menjadi bisa terlihat.”

Upaya tersebut telah memberi tim sebuah wawasan yang baru mengenai peran St. Catherine di dunia pada abad pertengahan. Selain merupakan salah satu tempat Kristen yang paling terkenal di dunia, para sarjana ternyata tidak memiliki gambaran yang lengkap tentang biara itu selama periode ini. “Sejarah St. Catherina dari abad ke-7 sampai dengan ke-11 sangat sedikit diketahui,” kata Rapp. “Penanggalan palimpsest sampai periode ini memberi kita sebuah gambaran baru tentang peran biara itu di dunia Kristen.” Keragaman bahasa yang ditemukan di palimpsest, yang berjumlah total 10 bahasa, menunjukkan bahwa para peziarah datang ke St. Catherine dari seluruh penjuru Timur Tengah dan Eropa. Selain lebih banyak teks yang tertulis dalam bahasa Albania Kaukasia, tim menemukan palimpsest yang tertulis dalam bahasa Ethiopia, Slavia, Armenia, dan yang penting, dalam bahasa Latin, beberapa ditulis dengan gaya yang populer di biara-biara Anglo-Saxon. “Kami terkejut dengan banyaknya teks dalam bahasa Latin,” kata Rapp. St. Catherine adalah sebuah biara Ortodoks dan sebelumnya tidak diduga memiliki hubungan yang kuat dengan dunia Katolik Kristen yang menggunakan bahasa Latin. Akan tetapi, palimpsest menunjukkan bahwa sejumlah peziarah dari Eropa Barat, mungkin sampai sejauh Britania Raya, membuat jejak ke biara dan meninggalkan naskah-naskah yang kemudian didaur ulang.

Bagi Rapp, penemuan signifikan lainnya yang ditunjukkan oleh proyek ini adalah bahwa sejumlah palimpsest ditulis dalam dialek Aramaik yang dikenal sebagai Aramaik Palestina Kristen. Bahasa ini punah pada abad ke-13, dan tidak dipahami, sebagian besar karena sangat sedikitnya teks yang ditemukan, yang membuat penemuan dari palimpsest ini sangat menggembirakan bagi para sarjana. “Kami telah menambah jumlah teks Aramaik Palestina Kristen yang diketahui sebanyak 30%,” kata Rapp. “Ada seorang rekan saya yang mempersiapkan tata bahasa dari bahasa itu, dan dia sangat bersyukur dia tidak menerbitkannya sebelum kami menemukan palimpsest ini.”

Isi dari palimpsest juga membuat kita melihat pada keberagaman naskah yang tersedia bagi para biarawan pada periode awal abad pertengahan. Beberapa palimpsest berisikan teks dari Alkitab seperti Korintus dan Bilangan versi abad ke-5 dan ke-6, tetapi juga terdapat sejumlah karya sekuler yang bisa dipelajari oleh para biarawan. Tim mengidentifikasi berbagai tulisan abad pertengahan, termasuk sebuah buku tentang tanaman obat-obatan, yang berisikan sebuah pengobatan untuk sengatan kalajengking, teks yang terselamatkan paling awal tentang tulisan kesehatan Sumpah Hippokrates, dan versi yang sebelumnya tidak diketahui tentang daftar istilah-istilah kesehatan.

Tulisan-tulisan itu memberi petunjuk tentang bagaimana para biarawan mengerti dan mengobati penyakit-penyakit, sebuah dimensi dari kehidupan mereka yang sangat praktis, tetapi tim juga menemukan bukti bahwa sedikitnya beberapa biarawan mungkin saja menjadikan bacaan di perpustakaan sebagai kesenangan. Mereka mengidentifikasi sebuah palimpsest yang berisikan versi karya fiksi sekuler yang bergambar, naskah bukan Alkitab bergambar yang diketahui paling kuno, yang mungkin menunjukkan bahwa para biarawan bisa jadi tidak membatasi diri mereka hanya pada bacaan religius saja.

Tidak lama kemudian, salah satu palimpsest mungkin telah membuat tim melihat sekilas gambaran yang sangat dekat tentang kehidupan rohani para biarawan. Di dalamnya, mereka menemukan notasi musik, sepertinya untuk nyanyian liturgis, yang masih terus dipelajari. Setelah berkas-berkas itu dibaca dan diuraikan, tim mungkin akan bisa menangkap kembali bunyi-bunyi dari salah satu nyanyian kuno yang merupakan bagian integral dari kebaktian agamawi di biara.

Saat ini, ada 23 sarjana yang bekerja menerjemahkan palimpsest, tetapi cukup banyak yang telah dipelajari sehingga sekarang menjadi jelas bahwa perpustakaan St. Catherine adalah sumber palimpsest Kristen yang paling melimpah di dunia. Selain itu, proyek itu telah membantu Bapa Justin dan para biarawan di St. Catherine bukan hanya menemukan kembali sejarah yang hilang, tetapi juga menunjukkan kembali iman mereka. “Naskah-naskah itu menjadi inspirasi bagi para biarawan yang hidup pada zaman ini,” kata Bapa Justin, yang menganggap bahwa penemuan teks dalam bahasa Latin, secara khusus, sangatlah signifikan. ”Mereka menunjukkan bahwa ada perjalanan dan komunikasi antara dunia Timur dan Barat, pada suatu waktu ketika para sarjana menganggap adanya pemisahan yang sangat besar. Ini merupakan salah satu contoh penting untuk zaman kita.”

Sejauh ini, tim telah membuat gambar 75 naskah yang sebelumnya diidentifikasi sebagai palimpsest. Dalam proses tersebut, Rapp telah mengidentifikasi sedikitnya 30 palimpsest baru dalam koleksi itu. Dia percaya bahwa masih ada lebih banyak buku di perpustakaan St. Catherine yang mungkin ditulis pada perkamen yang dipakai ulang. Bisa jadi, ada ribuan palimpsest lagi yang belum ditemukan, sebuah perpustakaan tak terlihat yang mungkin berisikan teks-teks Alkitab yang belum diketahui, atau lebih banyak lagi naskah-naskah yang menerangi kehidupan tentang biarawan pada abad pertengahan perintis Kekristenan yang terpencil ini. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : ARCHAEOLOGY
URL : https://www.archaeology.org/issues/207-1603/features/4155-egypt-monastery-palimpsests
Judul asli artikel : Recovering Hidden Texts
Penulis artikel : Eric A. Powell
Tanggal akses : 4 Juli 2018