Skip to main content

Kita Harus Mengantisipasi Frustrasi Saat Membaca Alkitab

Tidak Ada Tangisan

Kelas tujuh adalah tahun ketika tangisan dimulai. Dengan anak tertua kami, kami sedikit lengah -- sekolah tidak pernah menyebabkan kekesalan sampai seperti ini sebelumnya. Namun, dengan diperkenalkannya praaljabar, keempat anak itu hampir setiap malam selalu frustrasi dan menangis. Jeff dan saya jadi punya mantra, yang diperoleh dari film bisbol favorit: "Tidak ada tangisan dalam matematika."[1] Ini menjadi salvo pembuka dalam tutorial malam hari ketika kami akan mengurai keruwetan yang membelit pada tugas pekerjaan rumah hari itu, meyakinkan anak-anak bahwa mereka memiliki apa yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas itu, dan dengan lembut membimbing mereka untuk dengan sabar melanjutkan materi pembelajaran.

Pertama kali kami menggunakan mantra, "Tidak ada tangisan dalam matematika," yang diucapkan dengan sangat tenang kepada anak yang sedang merasa kacau, dia justru menangis lebih keras: Kau tidak mengerti! Aku benar-benar tidak paham. Guruku tidak bisa menjelaskan konsep dengan baik. Kelasnya terlalu sulit. Mengapa kau tidak mengizinkanku ikut "Kelompok Pecinta Alam" saja?

Tetapi saat anak bungsu kami naik ke kelas tujuh, adegan ini menjadi berbeda. Saat si bungsu dari keluarga kami itu duduk di meja menyeka air mata pertama dari frustrasi yang disebabkan oleh matematika, saya mengucapkan mantra yang sudah teruji oleh waktu itu: "Calvin. Tidak ada tangisan dalam matematika." Dan, sebelum dia bisa menyembunyikannya, senyum mulai tersungging di sudut mulutnya. Calvin memiliki keuntungan karena mengetahui bagaimana kelas tujuh berakhir. Karena pernah menyaksikan saudara-saudaranya mengalami perubahan dari air mata menjadi senyum selama petualangan matematika kelas tujuh mereka sendiri, dia tahu bahwa frustrasi adalah bagian alami dari proses pembelajaran. Apakah ada tangisan dalam matematika? Sejujurnya, ada banyak tangisan.

Namun, pada akhirnya, Calvin menyaksikan bahwa ketekunan dan kesabaran membuahkan hasil karena masing-masing saudara kandungnya memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk menaklukkan matematika -- di kelas tujuh dan selanjutnya. Calvin mungkin merasa tidak paham sekarang, tetapi perasaan itu tidak akan terus begitu. Merasa frustrasi dalam proses belajar adalah mengalami apa yang saudara-saudaranya sudah pernah rasakan sebelumnya. Ya, tangisan mungkin berlangsung sepanjang malam, tetapi kegembiraan karena pemahaman pasti akan datang bersamaan dengan waktu dan usaha.

Saya berharap lebih banyak wanita memahami perspektif ini dalam hal mempelajari Alkitab. Menjadi siswa untuk mata pelajaran apa pun membutuhkan usaha -- proses untuk mendapatkan pemahaman itu tidak mudah dan sering kali membuat frustrasi. Tergantung subjeknya, belajar mungkin menyenangkan, tetapi tidak akan mudah. Belajar membutuhkan upaya. Hal ini berlaku untuk mempelajari Alkitab seperti halnya mempelajari aljabar. Kita berpikir bahwa belajar Alkitab harus sealami menarik atau mengembuskan napas; jika mengetahui firman Tuhan begitu baik bagi kita, pasti Dia tidak akan mempersulit kita untuk melakukannya. Akan tetapi, mempelajari Alkitab membutuhkan disiplin, dan disiplin adalah sesuatu yang tidak kita terima secara alami. Karena mempelajari Alkitab adalah disiplin, kesabaran akan memainkan peran yang sangat dibutuhkan dalam kemajuan kita.

Banyak kelas di sekolah anak-anak saya tidak akan pernah membuat mereka menangis karena frustrasi. Kelas seperti Kelompok Pecinta Alam itu menyenangkan; mereka memberikan pengetahuan baru kepada siswa, tetapi mereka mungkin tidak memperluas pemahamannya. Mencapai pemahaman jauh lebih sulit daripada sekadar menerima fakta-fakta baru. Ketika kita membaca koran, kita tidak merasa frustrasi dengan kemampuan kita untuk memahaminya. Ini karena surat kabar tidak dimaksudkan untuk memperluas pemahaman kita -- surat kabar adalah sistem penyampaian informasi. Mempelajari Alkitab adalah pencarian pengetahuan, tetapi utamanya adalah pencarian pemahaman. Tidak seperti surat kabar, Alkitab jauh lebih dari sekadar sistem penyampaian informasi -- Alkitab bertujuan untuk membentuk cara berpikir kita. Ini berarti bahwa, sering kali, kita harus mengantisipasi untuk mengalami frustrasi ketika kita duduk membacanya.

Dua Reaksi

Apakah Anda mengantisipasi akan menghadapi frustrasi ketika Anda mempelajari Alkitab? Bagaimana Anda bereaksi terhadap disonansi yang Anda rasakan ketika pemahaman Anda tidak sama dengan sebuah bagian? Sebagai orang dewasa, kita tidak lagi harus mengikuti program studi karena guru atau orang tua meminta pertanggungjawaban kita. Jika kita menyerah pada ketidaksabaran dengan proses pembelajaran, kita cenderung bereaksi dengan salah satu dari dua cara.

Kita menyerah. Karena mendapati belajar Alkitab terlalu membingungkan, banyak dari kita berpikir, "Ini pasti bukan bidang karunia saya," lalu beralih ke aspek iman kita yang dapat kita terima secara lebih alami. Kita mengizinkan khotbah, podcast, buku, atau blog menjadi satu-satunya sumber asupan Alkitab kita. Kita mungkin membaca Alkitab dengan baik, tetapi kita berasumsi bahwa kita tidak siap untuk mempelajarinya dengan cara terstruktur apa pun.

Kita mencari jalan pintas. Karena ingin secepat mungkin menghilangkan perasaan tersesat dalam sebuah teks, kita segera membuka catatan dalam Alkitab studi kita sesegera mungkin setelah membacanya. Atau, kita selalu siap dengan tafsiran agar kita langsung dapat memeriksa ulasannya ketika merasa bingung. Dan, berkat Internet, bantuan tidak pernah jauh. Jika kita membaca sesuatu yang membingungkan, tidak perlu menangis karena frustrasi -- kita cukup membaca apa yang dikatakan oleh catatan dalam Alkitab studi kita atau mencari jawaban untuk pertanyaan kita secara online. Namun, apakah memiliki bantuan interpretatif yang tersedia benar-benar bermanfaat seperti yang terlihat? Atau, apakah kita berakhir seperti anak-anak di sekolah menengah bahasa Inggris yang tidak pernah benar-benar membaca buku karena CliffsNotes atau filmnya mudah didapat? Pada kenyataannya, menggunakan jalan pintas hanya sedikit lebih baik daripada menyerah karena tidak menghargai proses pembelajaran. Dengan terburu-buru menghilangkan disonansi dari momen "saya tidak mengerti", sebenarnya itu mengurangi efektifnya "momen aha" ketika menemukan sesuatu.

Bagaimana Kesabaran Meningkatkan Pembelajaran

Kita menyukai "momen aha" -- saat-saat ketika sesuatu yang membingungkan kita tiba-tiba menjadi masuk akal. Apa yang kadang-kadang kita abaikan tentang "momen aha" adalah bahwa itu terjadi setelah periode yang signifikan dari perasaan tersesat. Mungkinkah periode-periode perasaan tersesat itu sebenarnya mempersiapkan kita untuk pemahaman yang pada akhirnya akan datang? Mungkinkah perasaan tidak mengerti adalah salah satu cara Tuhan merendahkan kita ketika kita datang kepada firman-Nya, mengetahui bahwa pada waktunya, Dia akan meningkatkan pemahaman kita?

Berlawanan dengan reaksi naluri kita, perasaan tersesat atau bingung bukanlah pertanda buruk bagi seorang siswa. Ini sebenarnya merupakan tanda bahwa pemahaman kita sedang ditantang dan bahwa pembelajaran akan segera terjadi. Merangkul disonansi rasa tersesat, daripada menghindarinya (menyerah) atau menumpulkannya (mencari jalan pintas), justru akan menempatkan kita pada posisi terbaik untuk belajar. Kita harus membiarkan diri tersesat dan bersabar untuk menemukan jalan menuju pemahaman.

Beberapa tahun lalu, saya pindah dari Houston ke Dallas. Setelah tinggal di Houston selama 13 tahun, saya dapat mengemudi di jalan-jalannya dengan mudah. Saya tidak mengenal jalan-jalan di Dallas, jadi saya menggunakan GPS untuk pergi ke mana pun saya harus pergi. Itu perasaan yang luar biasa -- hampir tidak tahu apa-apa tentang kota pun, saya dapat memetakan rute ke tujuan saya secara instan. Saya tidak pernah merasa tersesat atau membuang waktu berputar-putar di jalan yang salah.

Akan tetapi, 3 tahun kemudian, saya masih tidak tahu jalan di sekitar Dallas tanpa GPS itu. Jika baterainya mati atau jika saya keluar rumah tanpa membawanya, saya berada dalam masalah besar. Kemudian, hal aneh lainnya terjadi: saya melakukan perjalanan kembali ke Houston. Di kota yang saya kenal dengan baik, saya baru menyadari bahwa GPS saya tidak selalu memilih rute yang paling masuk akal. Ia masih berbicara dengan nada otoritas yang sama dengan di Dallas, tetapi saya tahu bahwa GPS itu tidak memilih rute yang paling langsung.

Ketika saya kembali ke Dallas, saya tahu apa yang harus saya lakukan: saya harus membiarkan diri saya tersesat. Saya harus berputar-putar sebentar, merencanakan waktu perjalanan ekstra, melewatkan beberapa pintu keluar, dan salah belok untuk mempelajari sendiri rute-rute yang telah diberikan oleh GPS kepada saya. Coba tebak? Saya belajar rute yang lebih baik.

Ini adalah pelajaran yang sama yang telah saya pelajari tentang bantuan yang tersedia dari tafsiran dan Alkitab studi. Jika saya tidak berhati-hati, mereka dapat menutupi ketidaktahuan saya tentang Kitab Suci dan memberi saya perasaan yang salah bahwa saya tahu jalan di sekitar halaman-halamannya. Saya tidak berusaha untuk memahami, karena saat saya menemukan bagian yang sulit, saya segera mengatasi ketidaknyamanan saya karena merasa tidak mengerti dengan melirik catatan atau mencari tafsiran untuk mendapatkan jawaban. Dan, mendengar nada otoritatif mereka, saya menjadi lupa bahwa mereka, pada kenyataannya, hanya kata-kata manusia -- pendapat yang mengandung pengetahuan luas dan menguntungkan, tetapi tidak sempurna.

Singkatnya, jika saya tidak pernah membiarkan diri saya tersesat, saya tidak akan pernah membiarkan proses pembelajaran berjalan dengan semestinya. Jika saya tidak pernah berjuang untuk interpretasi saya sendiri, saya mungkin menerima interpretasi apa pun yang saya yakini benar. Dan, itu adalah rute yang berbahaya untuk dikendarai. Maksud saya bukan meragukan pentingnya tafsiran. Tafsiran yang baik sangatlah berharga bagi pelajar Alkitab.

Maksud saya adalah untuk mempertanyakan tempatnya dalam proses pembelajaran. Kecuali kita memeriksanya setelah kita mencoba untuk memahami dan menafsirkan sendiri, kita cenderung menyetujui penafsirannya begitu saja. Masalahnya bukan dengan pelajaran Alkitab atau tafsiran kita; masalahnya terletak pada kebutuhan kita akan kepuasan instan dan ketidaksukaan kita akan perasaan tidak mengerti. Tafsiran memegang tempat yang valid dalam proses pembelajaran. Namun, tempat itu bukanlah awal dari proses belajar, tempat mereka bisa menghilangkan ketidakmengertian kita -- perasaan yang sebenarnya adalah sahabat kita. (t/Jing-jing)

Catatan:

1. A League of Their Own, 1992. "There's no crying in baseball!"

Artikel ini diadaptasi dari Women of the Word: How to Study the Bible with Both Our Hearts and Our Minds oleh Jen Wilkin.

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Crossway
Alamat situs : https://www.crossway.org/articles/we-should-expect-frustration-when-reading-the-bible/
Judul asli artikel : We Should Expect Frustration When Reading the Bible
Penulis artikel : Jen Wilkin