Permakaman dari era Ashkelon kuno, yang berusia 2700 -- 3000 tahun, membuktikan bahwa orang Filistin berasal dari wilayah Laut Aegea, dan bahwa mereka, berbeda dengan pemahaman yang dikenal secara umum, adalah rakyat yang hidup dengan damai.
Sebuah permakaman besar Filistin berusia kira-kira 3000 tahun ditemukan di pelabuhan Mediterania Ashkelon. Cara penguburannya membuktikan, untuk pertama kalinya, bahwa orang Filistin pasti datang dari wilayah Laut Aegea, dan mereka memiliki hubungan yang sangat dekat dengan bangsa Fenisia.
"Sembilan puluh sembilan persen dari bab dan artikel yang ditulis tentang tradisi pemakaman Filistin kini harus diperbaiki atau diabaikan karena kita mempunyai makam Filistin yang pertama dan satu-satunya," kata Lawrence E. Stager, Profesor Dorot bidang Arkeologi Israel, Emeritus, di Universitas Harvard.
Permakaman tersebut ditemukan tepat di luar tembok kota Tel Ashkelon, salah satu dari lima kota utama Filistin di Israel kuno.
Permakaman yang ditemukan memiliki lebih dari 150 makam pribadi yang berasal dari abad ke-11 sampai ke-8 SM. Kuburan yang belum tersentuh tersebut memberikan titik terang bagi misteri yang telah membingungkan para arkeolog selama beberapa dekade: asal-usul bangsa Filistin.
"Pertanyaan mendasar yang ingin kami ketahui adalah dari mana asal orang-orang ini," kata Dr. Sherry Fox, seorang antropolog fisik yang mengambil sampel tulang untuk dianalisis, termasuk untuk studi DNA, dan studi radiokarbon serta jarak biologis.
Cara hidup orang Filistin: Tidak seperti orang Kanaan
Penemuan permakaman Filistin yang belum pernah terjadi sebelumnya memungkinkan para arkeolog untuk tidak hanya mempelajari praktik penguburan orang Filistin untuk pertama kalinya, tetapi juga untuk mendapatkan wawasan tentang karakteristik dan gaya hidup orang Filistin. Dengan penemuan ini, para arkeolog akhirnya memiliki data bukan hanya tentang satu atau dua orang, tetapi seluruh populasi, demikian dijelaskan oleh Daniel M. Master, profesor Wheaton College dan wakil direktur Leon Levy Expedition. Hal tersebut pada gilirannya akan memungkinkan mereka untuk berbicara tentang apa yang khas dan yang tidak, ujarnya.
"Hal ini membentuk sebuah dasar mengenai seperti apakah 'Filistin' itu. Kita sudah bisa mengatakan bahwa praktik budaya yang kita lihat di sini secara substansial berbeda dengan orang Kanaan dan penduduk dataran tinggi di timur," kata Master.
Mayat-mayatnya juga bisa memberikan informasi tentang kebiasaan makan, gaya hidup, dan morbiditas orang Filistin.
Salah satu kesimpulan yang telah dicapai para arkeolog adalah bahwa individu-individu tertentu tampaknya terhindar dari perselisihan.
"Tidak ada bukti adanya luka berat pada tulang akibat perang melawan kekerasan antarindividu," kata Fox kepada Haaretz.
Berbeda dengan praktik pemakaman yang khas di wilayah ini -- pemakaman keluarga atau pemakaman bersama, dengan jenazah diletakkan di panggung atau bangku yang dibuat lebih tinggi -- praktik di Ashkelon sangat berbeda.
Orang-orang mati, sebagian besar, dikuburkan di lubang berbentuk oval. Empat dari 150 dikremasi dan beberapa jenazah lainnya disimpan di ruang pemakaman batu. Ini adalah praktik pemakaman yang terkenal dari lingkup budaya Aegean -- tetapi pastinya bukan dari orang Kanaan.
Kawanan yang Damai
Temuan-temuan lain yang ditemukan bersama-sama dengan mayat biasanya termasuk kendi, mangkuk dan guci penyimpanan, dan dalam beberapa kejadian langka juga bisa ditemukan perhiasan mahal -- serta mata panah dan tombak.
Timbunan mata panah besi ditemukan di samping tulang panggul seseorang, jumlah yang memang pantas ditemukan dalam sebuah kantung panah.
"Panah yang sama tidak akan terulang, tetapi beragam bentuk dan ukuran, hal ini menarik," kata Dr. Adam Aja, direktur asisten penggalian, kepada Haaretz, dan ia menambahkan, "Mungkin pemanah bisa memilih anak panah yang dia butuhkan untuk menembus badan, baju besi, atau kayu."
Mata tombak dan beberapa perhiasan juga ditemukan di dekat pemanah Filistin.
Contoh lain, botol-botol kecil yang pernah berisi parfum ditemukan di samping mayat (mungkin minyak zaitun yang bervariasi wanginya). Dalam dua kasus, botol itu ditemukan di lubang hidung, menghadap ke arah hidung, diperkirakan supaya orang yang sudah mati bisa mencium bau wangi sepanjang keabadian.
Selain 150 lubang kuburan individu yang ditemukan di permakaman, enam ruang pemakaman dengan banyak mayat ditemukan (saat mayat seutuhnya ditemukan). Sebuah ruang pemakaman berbentuk persegi panjang yang megah ditemukan di dalam permakaman, dibangun dengan batu pasir yang dipahat dengan sempurna. Namun, pintu batu besar yang pernah berdiri sebagai jalan masuknya ternyata tidak bisa menghalangi perampok masuk untuk menjarah harta karun makam tersebut dan sisa-sisa kerangka penghuninya.
Kapan ruangan tersebut dibangun dan digunakan sangat sulit ditentukan. "Barang tembikar terbaru merupakan rongsokan dari abad ke-7 SM, tetapi biliknya mungkin sudah dibangun dan digunakan agak lebih lama," kata Master kepada Haaretz.
Linen, Papirus, dan Budak
Ashkelon menjadi pusat perdagangan yang berkembang selama Zaman Perunggu karena lokasinya di Laut Mediterania dan kedekatannya dengan Mesir. Melalui Ashkelon, yang terletak di sebelah utara Gaza, Mesir menjual lenan dan papirus -- dan juga budak -- ke seluruh dunia kuno.
Barang lain yang didistribusikan melalui Ashkelon selama Zaman Besi (sekitar 1185 -- 604 SM) termasuk anggur dan tekstil. Ada juga bukti impor gandum dari Yehuda, sekali lagi membuktikan bahwa kota orang Filistin adalah gerbang penting antara Timur dan Barat.
Ashkelon akan tetap menjadi kunci pusat perdagangan sampai masa Perang Salib. Namun, ia dihancurkan oleh Sultan Mamluk Baibars pada tahun 1270 M, dan sejak itu, kota tersebut tidak pernah pulih kembali.
Orang Filistin Melakukan Manuver Penjepit
Menurut Alkitab, Pulau Kreta (biasanya dianggap identik dengan Kaftor, Yeremia 47:4; Amos 9:7), meski belum tentu merupakan daerah asal orang Filistin, adalah tempat asal mereka bermigrasi ke pesisir Kanaan.
Bahwa orang Filistin bukan asli Kanaan ditandai oleh keramik, arsitektur, kebiasaan pemakaman, dan sisa-sisa tembikar dengan tulisan -- dalam bahasa non-Semit (beberapa pegangan cap stempel berukir, juga tembikar dengan naskah Cypro-Minoan, semuanya bertanggal sekitar tahun 1150-1000 SM).
Analisis DNA purba mungkin merupakan paku terakhir dalam peti mati yang menyelesaikan perdebatan tentang asal-usul orang Filistin.
Sementara itu, Lawrence E. Stager dari Harvard telah lama yakin bahwa orang Filistin datang dengan kapal, berlayar dari daerah Aegea, mungkin Siprus, ke pantai Kanaan Selatan, dan menetap di sana sebelum melakukan serangan besar-besaran ke Mesir.
Salah satu referensi paling awal untuk orang Filistin adalah relief kematian Ramesses III di Medinet Habu. Relief tersebut menggambarkan Pertempuran Delta, perjuangan besar antara orang Mesir dan Masyarakat Laut yang terjadi di mulut Sungai Nil pada awal abad ke-12 SM (1176-75 SM).
Karena relief itu menggambarkan gerobak sapi, kereta, dan kapal, beberapa ilmuwan menduga bahwa orang Filistin datang dari Anatolia ke Mesir. Stager bersikap skeptis. "Tidak mungkin Anda bisa datang dengan gerobak sapi dari Anatolia, menuruni seluruh perbukitan," dia menjelaskan. "Lebih masuk akal jika mereka datang dengan kapal, memuat dan membongkar kendaraan ini."
Dia juga menunjukkan bahwa Pertempuran Delta adalah satu-satunya pertempuran epik yang diketahui antara orang Mesir dan orang Filistin atau masyarakat laut. Tidak ada duanya. Jika orang Filistin menyerang orang Mesir, mereka kemungkinan akan mengirim angkatan laut ke Mediterania -- dan angkatan darat, yang secara efektif menciptakan manuver penjepit terhadap Ramesses III, Stager berspekulasi.
Stager menduga, orang Filistin pasti memiliki tempat tinggal yang baik di Kanaan selatan sebelum Pertempuran Delta. Ashkelon akan menjadi salah satu titik strategis pertama yang harus diselesaikan oleh orang Filistin, mengamankannya sebagai semacam "Pangkalan", sebelum mereka meluncurkan armada dan infanteri mereka melawan orang Mesir di Delta Nil.
"Ramesses III mencoba menahan mereka di lima kota Filistin, tetapi jelas dia tidak dapat mengendalikan atau mengusir mereka," kata Stager.
Daniel Master berbeda: "Saya pikir Mesir masih menguasai wilayah ini, bahkan daerah Filistin, dan bahwa orang Filistin telah menetap dengan persetujuan orang Mesir. Ini menjadi konsensus yang lebih luas selama beberapa tahun terakhir karena bekerja di Megiddo, Jaffa, dan Ashkelon sendiri, tempat kita menemukan banyak barang Mesir dari periode ini," katanya kepada Haaretz.
Pada titik ini, kita tidak tahu apakah orang Mesir berhasil menaklukkan orang Filistin. Namun, kita tahu bahwa orang Filistin pada akhirnya mendapatkan pembalasan mereka.
Pada awal Desember 604 SM, orang Babel menyapu daerah Filistin, menghancurkan kota-kota dan mengusir penduduknya. Penguasa Babilonia, Nebukadnezar, membakar Filistin pada awal Desember 604 SM, tetapi dalam kehancuran besar tersebut, tertinggal arsitektur, keramik, dan bahkan makanan, memberikan gambaran bagi para arkeolog tentang kehidupan di kota Filistin pada abad ke-7 SM. (t/Lidya)
Diterjemahkan dari:
Nama situs: Haaretz
Alamat situs: http://www.haaretz.com/jewish/archaeology/1.729879
Judul asli artikel: Archaeologists Find First-ever Philistine Cemetery in Israel
Nama Penulis: Philippe Bohstrom
Tanggal akses: 12 September 2017
- Log in to post comments