Agar orang Kristen dapat berkembang di era modern, ada dua disiplin rohani yang harus kita terapkan: Detoksifikasi Digital (berpuasa dari layar) dan Ketidaktahuan yang Disengaja (berpuasa dari informasi).
Pertumbuhan teknologi digital yang cepat memiliki implikasi bagi pembentukan spiritual kita. Bentuk konektivitas yang ada pada ponsel pintar dan jam tangan pintar pada dasarnya merupakan hal yang baru dalam sejarah manusia; hal ini belum tentu baik atau buruk, tetapi tentu saja berbeda. Oleh karena itu, disiplin rohani tandingan yang melayani pertumbuhan kita seharusnya juga berbeda.
Pembinaan rohani dan sarana-sarana pembinaan yang terarah (disiplin rohani, kebiasaan, dan praktik-praktik) selalu bersifat kontekstual; kuasa yang merendahkan martabat manusia dari berhala-berhala kita mengekspresikan diri mereka secara berbeda dalam budaya-budaya yang berbeda pula. Dan, budaya kita saat ini adalah budaya pertama yang secara radikal bersifat digital.
Kekuatan Deformatif dari Digitalisasi
Terhubung dengan internet secara kronis menggoda kita untuk menjadi "seperti Tuhan" dengan cara yang baru dan menakutkan. Kita belum pernah tergoda untuk mengejar kemahahadiran dan kemahatahuan seperti saat ini.
Kini, kita membawa internet 5G di saku dan di pergelangan tangan. Kita terhubung dengan seluruh dunia dan dapat mengamati, berkomunikasi, dan diinterupsi secara instan oleh orang-orang di belahan bumi lain yang sedang menggunakan ponsel mereka dengan lebih mudah, daripada tetangga kita di ujung jalan.
Interaksi kita dengan orang-orang terdekat dan tetangga lebih rentan dibajak oleh keinginan atau kebutuhan seseorang yang berada jauh di sana, karena rentang perhatian kita telah terpotong oleh pengaturan notifikasi.
Dahulu, informasi merupakan komoditas yang langka; sekarang informasi ada di mana-mana. Dengan "googling" sebagai kata kerja baru dan "GPTing" sesuatu yang ada di sekitar kita, akses ke informasi menjadi instan. Akankah kita lupa bagaimana rasanya tidak mengetahui sesuatu selama lebih dari 30 detik?
Kemahahadiran adalah salah satu karakteristik Tuhan. Ketika teknologi membuat kita menjadi sangat hadir, bukan hanya sistem saraf kita yang tidak dapat mengatasinya, tetapi juga teman-teman dekat dan orang-orang yang kita cintai menjadi tidak dicintai karena kita menyendiri, terganggu, dan sibuk.
Kemahatahuan juga merupakan salah satu karakteristik Tuhan. Tuhan bisa mengetahui segala sesuatu, kita tidak bisa. Kita terbatas, terikat, dan bersifat lokal karena kita adalah makhluk yang diwujudkan. Dari hal-hal sepele hingga peristiwa terkini, adalah baik bagi kita untuk tidak mengetahui banyak hal.
Salah satu alasan mengapa kita sangat tidak sehat secara mental sebagai masyarakat adalah karena kita bermain-main dengan kemahahadiran dan kemahatahuan. Kita tahu terlalu banyak dan menyadarinya sehingga menjadi cemas dan tertekan.
Kekuatan Prinsip Kedekatan
Yesus menceritakan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:30 dst.) untuk menjawab pertanyaan, "siapakah sesamaku manusia?" Dalam cerita tersebut, ada seorang pria yang terluka dan terbaring di jalanan, dan membutuhkan pertolongan. Kemudian, ada dua orang yang berjalan di jalan yang sama, melihat orang tersebut, dan kemudian melewatinya. Namun, seorang Samaria yang baik hati melintas di tempat orang yang terluka itu, melihatnya, merasa iba, dan kemudian bertindak.
Dua orang yang pertama itu dicela bukan hanya karena mereka tidak menolong, tetapi karena mereka ada di sana, berada di dekat orang itu, dan mampu menolong, tetapi tetap tidak menolong.
Dalam hal ini terdapat sebuah prinsip etika dasar: kedekatan dan kemampuan menciptakan tanggung jawab.
Banyak orang yang terganggu oleh rasa bersalah dan kecemasan kronis tingkat rendah karena sistem saraf kita tidak dirancang untuk menangani semua informasi yang dapat kita akses pada era digital ini. Kaum muda, khususnya, terganggu oleh rasa tanggung jawab yang berlebihan yang menyebabkan kelumpuhan dan depresi.
Kita akhirnya berfungsi seperti orang Lewi dan Imam dalam Lukas 10:31-32, yang tidak mampu atau tidak mau mengasihi orang-orang yang ada di depan mata kita karena disibukkan dengan semua informasi, masalah, dan penderitaan yang berada jauh di sana.
Jika kita melihat melalui lensa kedekatan dan kemampuan, beberapa kecemasan yang disebabkan oleh informasi akan menghilang dan kita akan memiliki hati nurani yang lebih jernih saat mengasihi mereka yang berada di "tempat" yang telah ditetapkan Tuhan bagi kita (seperti orang Samaria yang baik hati).
Hanya Tuhan yang dapat menangani kemahatahuan (mengetahui segala sesuatu) dan kemahahadiran (ada di mana-mana), dan kita harus bertobat dari keinginan kita untuk menjadi seperti Tuhan dengan cara ini.
Tradisi Kristen telah lama mempraktikkan disiplin puasa. Pada dasarnya, puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang baik untuk tujuan doa dan pertumbuhan rhani. Konteks baru kita membutuhkan dua bentuk puasa baru: puasa dari perangkat digital dan puasa dari informasi.
Cara Mempraktikkan Detoksifikasi Digital
Detoksifikasi digital adalah puasa dari perangkat digital, terutama ponsel pintar, jam tangan pintar, atau tablet Anda. Detoksifikasi digital membantu kita bertobat dari kemahahadiran. Ini adalah istirahat dari ketergantungan pada tali pusar digital dan pemicu kenyamanan instan Adna. Inilah yang saya coba lakukan untuk mewujudkannya:
- Harian: Ketika saya masuk ke dalam rumah dari tempat kerja, saya meninggalkan ponsel saya di rak di dekat pintu selama setidaknya tiga puluh menit sementara saya bermain dengan anak-anak saya dan terhubung kembali dengan istri saya.
- Harian: Saya meletakkan ponsel saya di meja di sisi lain kamar tidur saya minimal 40 menit sebelum tidur dan tidak melihatnya selama 20 menit setelah saya bangun (kecuali untuk menghentikan alarm)
- Mingguan: detoksifikasi digital selama 12 jam yang mencakup pergi ke taman, berjalan-jalan, atau pergi ke gym tanpa ponsel.
- Bulanan: detoksifikasi digital media sosial, email, dan SMS selama 48 jam.
- Dua kali sebulan: Meninggalkan ponsel saya di rumah ketika pergi berkencan dengan istri saya.
- Tahunan: Sekali dalam setahun, retret pribadi selama 3 hari yang mencakup detoksifikasi digital di antara bentuk-bentuk puasa dan doa tradisional lainnya, sementara saya fokus untuk hadir di hadapan Tuhan.
- Tahnan: Sekali dalam setahun saat berlibur, total 5 hari detoksifikasi digital dengan cara mematikan ponsel dan komputer saya, sementara saya berfokus untuk hadir bagi keluarga saya.
Bagaimana Mempraktikkan Ketidaktahuan yang Disengaja
Jika benar bahwa ketidaktahuan adalah kebahagiaan, hal itu menjelaskan banyak hal tentang krisis kesehatan mental kita saat ini. Informasi yang diminta untuk kita bawa dan kelola terlalu banyak untuk pikiran kita yang bukan Ilahi.
Ketidaktahuan yang disengaja adalah pilihan yang sangat berlawanan dengan budaya untuk menerima ketidaktahuan akan segala sesuatu yang bisa Anda ketahui. Inilah yang saya coba buat untuk menggambarkannya bagi saya:
- Mengurangi asupan informasi: Saya tidak melihat Instagram atau cerita Facebook. Saya tidak ingin tahu apa yang dilakukan orang sepanjang waktu.
- Mengurangi berita terbaru: Saya berhenti mengikuti hampir semua akun berita, terutama yang sering menyajikan BREAKING NEWS.
- Mengurangi jawaban atas pertanyaan: Setidaknya sekali dalam sehari, saya membiarkan sebuah pertanyaan tidak terjawab. Misalnya, "Berapa perbedaan diameter yang sebenarnya antara bola NBA dan bola WNBA?" Saya akan memilih untuk tidak mengeluarkan ponsel dan mencari tahu di Google. "Apa yang terjadi dengan roket di Korea Utara kemarin?" Saya memilih untuk tidak mencari tahu jawabannya. Dengan demikian, saya berdoa, "Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu; karena saya percaya pada-Mu dan persetujuan-Mu, saya tidak perlu mengetahui hal itu." Membiarkan diri tetap tidak tahu adalah hal yang asing bagi kita, tetapi hal itu membentuk kita.
Banyak dari praktik-praktik ini yang menjadi aspirasi bagi saya; sering kali saya merasa malu dengan pola penggunaan perangkat saya yang tidak sehat. Saya merekomendasikan kebiasaan-kebiasaan ini sebagai seseorang yang mengetahui kebiasaannya sendiri.
Manusia dipanggil untuk berkuasa atas ciptaan, tetapi sering kali ciptaan kita sendiri yang berkuasa atas diri kita. Praktik ganda dari detoksifikasi digital dan ketidaktahuan yang disengaja akan membantu kita memperbaiki keseimbangan kekuasaan yang dimiliki perangkat kita atas diri kita, saat kita mencari keselarasan dan kesetiaan kepada Roh Kristus.
(t/Jing-jing)
Diambil dari:
Nama situs:For The Church
Alamat artikel:https://ftc.co/resource-library/articles/digital-detox-intentional-ignorance-and-the-proximity-principle/?utm_source=chatgpt.com
Judul asli artikel:Digital Detox, Intentional Ignorance, and the Proximity Principle
Penulis artikel:Seth Troutt
- Log in to post comments