Saya senang melihat teman saya Maria berdoa karena wajahnya begitu ekspresif. Selama satu kali pertemuan doa, ekspresi wajahnya berubah dari tanpa ekspresi, menjadi penuh semangat, dan kemudian menjadi damai. Saat dia memuji Tuhan atau berseru kepada-Nya untuk meminta pertolongan, wajahnya mencerminkan keadaan hatinya.
Sejak saya pindah ke perguruan tinggi, mentor Kristen yang paling banyak hadir dalam hidup saya adalah orang-orang Kristen Gen Z. Para wanita ini -- para senior atau mahasiswa yang baru saja lulus -- telah mengajari saya untuk berdoa lebih lama dan lebih khusyuk dari sebelumnya, tetapi juga bagaimana membawa kelelahan, sukacita, kekecewaan, atau kesenangan setiap hari di hadapan Tuhan.
Generasi saya (Gen Z) sangat suka berbicara tentang kesehatan mental. Kami sangat antusias untuk menghapus stigma seputar kesehatan mental dan "memproses" emosi, tidak hanya di ruang terapis, tetapi juga secara terbuka di media sosial. Para pengguna TikTok sering membagikan video yang sangat pribadi tentang diri mereka yang sedang menangis, dengan keterangan yang menjelaskan betapa pedihnya perasaan mereka.
Budaya mendiskusikan kesehatan mental secara terbuka ini tentu saja memiliki sisi negatifnya, termasuk godaan untuk meremehkan keseriusan dosa dengan cara mengalihkannya ke ranah psikologi dengan bahasa terapeutik, atau menyangkal kesalahan pribadi dengan menyalahkan trauma masa lalu.
Namun, satu sisi positifnya adalah Gen Z memiliki kefasihan dalam berbicara tentang emosi dengan cara yang tidak dimiliki oleh generasi sebelumnya. Akibatnya, orang Kristen Gen Z cenderung memiliki kesadaran yang tinggi tentang bagaimana emosi mereka berhubungan dengan iman mereka dan bagaimana berhubungan dengan Tuhan melalui emosi ini.
Keterlibatan Emosional dengan Tuhan
Mazmur, blueprint doa dalam Alkitab, penuh dengan ekspresi emosional yang diarahkan kepada Tuhan. Asaf mengungkapkan kebingungan dan kesepian kepada Tuhan: "Ya Allah, mengapa Engkau membuang kami selamanya? Mengapa kemarahan-Mu menyala terhadap domba-domba gembalaan-Mu?" (Mazmur 74:1, AYT). Daud berseru, "Aku menjadi lemah dan sangat remuk, aku meraung oleh karena rintihan hatiku," dan bersukacita, "aku percaya pada kasih setia-Mu. Hatiku bersukacita karena keselamatan-Mu." (38:8; 13:5, AYT). Daud meminta Allah untuk mengubah emosinya, dengan menulis, "Buatlah jiwa hamba-Mu bergembira karena kepada-Mu, ya TUHAN, aku mengangkat jiwaku" (86:4, AYT).
Dalam Perjanjian Baru, Paulus memerintahkan orang Kristen untuk menyerahkan ketakutan mereka kepada Tuhan: "Janganlah khawatir tentang apapun juga. Namun, dalam segala sesuatu nyatakan keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan serta ucapan syukur" (Filipi 4:5-6, AYT).
Seperti pemazmur, orang Kristen Gen Z melihat emosi sebagai undangan untuk bersama Tuhan -- untuk memproses bersama-Nya berbagai hal yang kita rasakan dan hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka haus akan Tuhan yang intim yang akan menerima kegelisahan mereka dan memberikan sukacita.
Orang Kristen Gen Z melihat emosi sebagai undangan untuk bersama dengan Tuhan -- untuk memproses bersama-Nya berbagai hal yang kita rasakan dan hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Alkitab menggambarkan Allah yang ingin menguduskan emosi umat-Nya. Setelah memerintahkan orang-orang percaya untuk menyampaikan permohonan mereka kepada Allah, Paulus berjanji bahwa "damai sejahtera Allah yang melampaui segala pengertian akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Yesus Kristus" (Filipi 4:7, AYT). Damai sejahtera yang Allah berikan pasti bersifat emosional karena Paulus menegaskan bahwa damai sejahtera itu tidak hanya bersifat intelektual atau logis, tetapi juga melampaui akal budi.
Saya telah melihat keluarga saya bertumbuh lebih dekat dengan Tuhan dengan membawa emosi ke dalam kehidupan iman kami. Teologi gereja kami yang mendalam mengenai nyanyian pujian dan liturgi mingguan telah memberkati kami dengan luar biasa. Namun, pendeta saya menyadari bahwa ibadah kami terkadang bisa menjadi kaku, dan dia mendorong jemaat untuk berlutut saat pengakuan dosa dan mengangkat tangan dalam penyembahan. Dalam sebuah khotbah tentang Mazmur 95:1-7, dia menjelaskan bagaimana Tuhan menghubungkan pikiran dan tubuh kita sehingga tubuh kita sering kali dapat menginstruksikan emosi kita.
Memasuki tahun pertama sekolah menengahnya, adik perempuan saya bergabung dengan kelompok pemuda di sebuah gereja dengan denominasi yang berbeda. Selain mendapatkan teman-teman dekat yang mengasihi Tuhan, dia menjadi bagian dari jemaat yang selalu ingin bertemu dengan Tuhan secara emosional dalam penyembahan dan mengekspresikan emosi tersebut melalui tubuh mereka -- bertepuk tangan, menari, dan mengangkat tangan. Dalam dua tahun sejak itu, saya telah melihat dia sungguh-sungguh beriman dan mencari keintiman dengan Tuhan, begadang hingga larut malam untuk membaca Alkitab dan menulis doa dalam jurnalnya.
Aspek emosional dan teologis dari iman seharusnya tidak diadu satu sama lain. Tuhan menciptakan kita dengan hati dan pikiran, dan saya berharap generasi saya akan mencari pembinaan rohani yang melibatkan keduanya.
Generasi Z, mari kita berhati-hati untuk tidak membangun hubungan kita dengan Tuhan hanya berdasarkan emosi kita, terutama ketika emosi kita bertentangan dengan kebenaran yang diwahyukan Tuhan dalam Alkitab.
Kesembuhan Hanya Ditemukan di dalam Tuhan
Kata kunci kesehatan mental populer lainnya untuk Gen Z adalah "perawatan diri". Ini adalah konsep untuk menyegarkan kondisi mental dan emosional Anda dengan meluangkan waktu untuk fokus pada diri sendiri -- dengan mengambil cuti "hari kesehatan mental", melakukan aktivitas "kesehatan", menghabiskan waktu bersama teman, dan membuat jurnal, di antara aktivitas-aktivitas lainnya. Namun, masalah dari konsep perawatan diri adalah kecenderungannya menjadi dalih untuk bersikap egois. Dan, diri sendiri memiliki sumber daya yang terbatas untuk pemulihan.
Jika jawaban terbaik kita pada saat stres adalah memberikan izin kepada diri kita untuk merawat diri sendiri, hal ini akan membuat kita kecewa. Bagaimana mungkin diri sendiri bisa menjadi solusi bagi pergulatan mental yang berasal dari dalam? Kita membutuhkan sesuatu di luar diri kita untuk benar-benar menemukan kesembuhan.
Masalah dengan perawatan diri adalah bahwa hal ini sering kali menjadi alasan untuk mementingkan diri sendiri. Dan, diri sendiri memiliki sumber daya yang terbatas untuk memberikan kesegaran yang penuh.
Orang Kristen Gen Z tahu bahwa perawatan diri yang terbaik adalah dengan melihat ke luar diri kita kepada Tuhan dan menyegarkan jiwa kita bersama-Nya. Jika rekan-rekan sekuler kita mencari pemulihan dengan meluangkan waktu untuk fokus pada diri mereka sendiri, orang Kristen Gen Z mencari pemulihan dengan menyisihkan waktu untuk bersama Bapa surgawi mereka. Praktik ini datang langsung dari Yesus. Injil Lukas mencatat enam kali Yesus menyendiri untuk bersama Bapa-Nya (Lukas 2:46-49; 4:42; 5:16; 6:12; 9:28; 22:39-44). Banyak teman kuliah saya yang sengaja menyisihkan waktu setiap minggunya untuk tidak bekerja, tetapi untuk disegarkan di dalam Tuhan melalui doa, membaca Alkitab, dan makan bersama dengan teman-teman Kristen mereka.
Mempraktikkan perawatan diri sebagai orang Kristen seharusnya juga berarti merawat orang lain. Para pendukung perawatan diri sekuler kadang-kadang menyarankan untuk menjadi sukarelawan, dan banyak penelitian menunjukkan manfaat kesehatan dari menjadi sukarelawan secara teratur. Dunia menangkap sesuatu yang orang Kristen tahu sebagai kebenaran: kita diciptakan untuk melayani orang lain dengan rendah hati meniru Allah kita (Mat. 23:11; Markus 10:45; Roma 12:10; Gal. 5:13; Fil. 2:4). Yesus memanggil kita untuk tinggal bersama-Nya dengan melayani saudara-saudari kita (Yohanes 15:9-12). Peremajaan rohani dari tinggal di dalam Kristus berjalan seiring dengan kasih yang taat dan rela berkorban.
Generasi Z, mari kita berhati-hati untuk tidak membangun hubungan kita dengan Tuhan hanya berdasarkan emosi kita, terutama ketika emosi kita bertentangan dengan kebenaran yang diwahyukan Tuhan dalam Alkitab. Dan pastikan kita tidak membenarkan keegoisan atau dosa-dosa lain atas nama perawatan diri. Kita harus waspada terhadap ekses dan distorsi dari terapi-terapi, terutama jika terapi-terapi tersebut menjadi wacana yang lebih berwibawa dalam kehidupan kita daripada Alkitab. Jika kita mendapati bahwa kata-kata seorang terapis lebih berpengaruh dalam hidup kita daripada firman Tuhan, kita tahu bahwa kita telah melangkah terlalu jauh.
Namun, penyimpangan ini seharusnya tidak membuat kita takut dari cara-cara yang baik untuk mengekspresikan emosi yang dapat memerkaya iman kita. Mari terus membawa emosi kita kepada Tuhan dan mencari kesegaran dari keintiman dengan-Nya, menyerahkan semua kecemasan kita kepada Dia yang peduli kepada kita (1 Petrus 5:7).
(t/Jing-jing)
Diambil dari:
Nama situs:The Gospel Coalition
Alamat artikel:https://www.thegospelcoalition.org/article/gen-z-emotionally-engaged/
Judul asli artikel:Benefits and Hazards of Gen Z's Emotionally Engaged Faith
Penulis artikel:Abigail Davis
- Log in to post comments